Membaca pikiran Ichsanul Amal (seperti berita detik.com di bawah) seperti membaca sebuah dongeng tentang shangri La, sebuah dongeng tentang raja-raja yang tinggal kenangan. Persoalan kerajaan dan NKRI, sebenarnya bermula ketika tidak adanya toleransi dari pendiri negara dari para elit politiknya yang langsung membabi buta melakukan generalisasi nasionalisme, dan hal ini diperparah dengan penerus Soekarno, Soeharto dengan sistem jawanisasi yang menjadikan semua aspek harus disentralisasi, bagi saya ini sebuah sistem Jawa yang tidak njawani sama sekali. Kemerdekaan Indonesia terasa "merampok" kekuatan budaya kerajaan dan kaum adat terhadap kaumnya. Setidaknya ini menjadi sebuah penderitaan batin dari kaum adat di seantero Indonesia. Apalagi dengan tidak berhasilnya negara Indonesia membimbing masyarakatnya pada sebuah level yang berbudaya.
Sebuah usul menjadikan Yogyakarta seperti kerajaan Monaco pada era saat ini hanya akan memunculkan kecemburan daerah dan berakibat rapuhnya nasionalisme dan berujung disintegrasi. Usul yang pantas dijadikan rujukan adalah membuat Dewan Adat seluruh Indonesia yang memiliki legitimasi budaya dan sebagai pengawas kebijakan di Indonesia sehingga aspirasi dari para kerajaan-kerajaan dan kaum adat di Indonesia dapat disalurkan dan memiliki legitimasi. Hal ini tidak menjadikan adanya negara di atas negara. Memang jika kita lihat ada sedikit kesamaan antara Dewan adat dan utusan golongan di MPR waktu orde baru, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah Dewan Adat adalah tidak masuk dalam legislatif dan merupakan lembaga independen yang terdiri dari forum kerajaan-kerajaan dan kaum adat seluruh Indonesia, yang levelnya setingkat legislatif dan eksekutif dan berfungsi memberikan rekomendasi atas hukum-hukum budaya dan adat yang berlaku sekaligus memberikan wewenang mengatur hukum budaya dan adat di wilayah atau daerahnya tanpa menentang hukum positif yang ada.
Usul ini pernah saya lemparkan kepada Bapak Prof Budya Pradipta, ahli budaya Jawa dan juga guru besar UI sewaktu berada di kediamannya Ciputat, Jakarta Selatan. Saat itu, saya mengusulkan hal itu dalam lingkup mini kepada partai Kerakyatan Nasional untuk membuat Dewan Adat di Partai tersebut. Hal itu saya simpulakan setelah melihat keluh kesah beliau atas "tersingkirnya" peran adat terhadap pembangunan masyarakat Indonesia. Saat itu Profesor yang juga anggota dewan penasihat PKN, menawari saya untuk bergabung dengan PKN, meski akhirnya saya tolak dengan halus. Adapun akhirnya PKN ttidak berhasi lolos di KPU, sehingga kemungkinan usul itu tinggal arsip belaka.
Mari kita jangan lupakan sejarah, bahwa negara kita dihimpun dari kerajaan-kerajaan yang mempunyai sejarah yang cukup panjang.
detik.com
Selasa, 23/09/2008 15:32 WIB
RUUK Yogyakarta
Pengamat: Posisi Sultan Sebaiknya Seperti Raja Monaco
Bagus Kurniawan - detikNews
Yogyakarta - Langkah pemerintah pusat yang akan memperpanjang masa jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai gubernur DIY sudah tepat. Sri Sultan sebaiknya tidak menolak hal itu.
"Kalau Sultan menolak perpanjangan jabatan gubernur akan repot," kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Ichlasul Amal MA di Sekolah Pasca Sarjana, Bulaksumur Yogyakarta, Selasa (23/9/2008).
Menurut Amal, Sultan harus mengawal persiapan proses pelaksanaan Pilkada DIY dalam waktu dua tahun mendatang. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta.
"Dua tahun masa perpanjangan jabatan gubernur. Saya berharap Sultan masih bersedia menjabat," katanya.
Amal menilai langkah pemerintah memperpanjang masa jabatan Sultan sebagai Gubernur DIY sebelum RUUK Yogyakarta disahkan sangat tepat. Jika pemerintah menunjuk seseorang di luar Sultan sebagai pejabat gubernur tidak bijaksana.
"Pejabatnya yang ditunjuk adalah Sultan. Sekarang ini hanya menunggu surat keputusan dari presiden atau apa pun bentuknya bisa Perppu atau Keppres," kata mantan Rektor UGM itu.
Amal berharap Sultan dapat mengawal proses pelaksanaan Pilkada DIY. Meski nantinya dia tidak lagi menjabat gubernur, bukan berarti Sultan tidak mempunyai kedudukan. Menurut Amal, bisa saja RUUK mengatur posisi Sultan seperti Raja Monaco.
"Dari dulu saya pernah mengatakan posisi sultan idealnya seperti Raja Monaco. Raja Monaco itu, punya perdana menteri, namun ia dapat fasilitas dan sangat prestisius," ungkap Amal.
Di sisi lain, Amal menyesalkan jika RUUK Yogyakarta selalu dikaitkan dengan keinginan Sultan untuk menjabat Gubernur seumur hidup. Menurutnya hal itu sangat tidak relevan bahkan terkesan membatasi ruang gerak Sultan.
"Kasihan Sultan, tidak bisa naik dan ikut ke nasional. Akibat polemik draft RUUK ini sekarang ini orang jadi ragu untuk mencalonkan Sultan. Kalau seperti ini, karir Sultan sendiri seolah dibatasi," ungkap Amal.
Meski demikian Amal mengakui penolakan Sultan atas perpanjangan massa jabatannya selama lima tahun sangat beralasan. Sebab RUUK yang diajukan selama ini terkesan membatasi gerak Sultan. Padahal Sultan merupakan tokoh nasional yang kontribusinya diperlukan oleh nasional. Ada kekhawatiran sejumlah pihak bila Sultan bisa masuk ke nasional.
"Sultan sudah masuk nominasi sembilan tokoh calon pemimpin dari partai Golkar, sementara itu, Sultan juga masuk dalam daftar lima calon wapres dari partai PDIP," katanya.
No comments:
Post a Comment