Pages

Thursday 28 August 2008

Mongso Romadhon, tradisi dan toleransi

Mongso Romadhon. Bulan Ramadhan, begitu kegiatan sangat semarak khususnya di kampung-kampung halaman. Mungkin itulah pada saat Ramadhan tiba, banyak orang yang menjadi "korban" urban, yang harus kerja di kota-kota, akan berdatangan ke kampung halaman. Tentunya kebanyakan yang bekerja di sektor informal (pedagang, tukang ojek dan lain-lain yang tak kenal harus sendiko dawuh ke juragan).



Di kampung, setidaknya ada acara yang menjadi kehangatan tersendiri. Mulai dari ritual Munggahan (megengan-di jawa timur). Meski acara munggahan tidak pernah ada dalam sabda Rasul, tetapi tradisi tersebut sangat digemari oleh masyarakat. Tidak saja kaum muslim lho. Banyak umat lainnya, yang turut serta untuk ikut dalam acara tersebut. Dengan ditemani nasi tumpeng, dengan daun pisang muda sebagai piringnya, serta ikan-ikan pasar dan tahu tempe seolah pesta itu begitu sederhana, tapi kemeriahan tidak bisa disembunyikan dalam rautan wajah yang berkopiah dan pastinya cara makannya dengan tangan. Hangat khas kaum pedesaan.


Lain lagi ketika sudah Ramadhan tiba, habis buka puasa tiba. Acara kemeriahan baru dimulai. Puja-dan puji mengiringi adzan dan iqomah, begitu semarak, apalagi mikrofon menambah gema kemeriahan. Saat Ramadhan pembukaan, hampir sama dengan acara Olimpiadi atau PON (pekan olahraga nasional, seluruh badan langgar (musholla) habis dimakan jamaah, bahkan sering kali harus menggelar karpet atau tikar di halaman. Seolah tak mau ketinggalan dengan kemeriahan makmum, sholat tarawih yang jumlahnya 23 (dua puluh tiga) dijalani dengan sangat cepat. Tak jarang acara ini juga banyak memakan korban, kehilangan sandal. Dan inilah yang sering membuat saya menangis saat pembukaan ramadhan waktu kecil.


Acara selanjutnya adalah tadarus, membaca ayat-ayat Qur'an bergantian. Mikrofon pun menggema dan harus beristirahat sampai pukul 10 malam. Baru sekitar pukul 3, mikrofon bergema lagi. "sahur....sahur..Bapak-bapak, ibu-ibu sedaya....waktu menunjukkan jam 3 pagi, monggo sahur-sahur.....". Tidak itu saja, iringan beduk, antara harmoni dan tidak, bertaluh-taluh menggetarkan kuping untuk terbangun dari tidur dan melakukan sahur, tak jarang pula untuk ikut dalam kemeriahan.


Bagaimana kaum urban jika tidak pulang dan pilih tinggal di kota, karena kesibukan rutinitas yang tidak bisa tinggalkan. Seperti saya ini contohnya. Mungkin hampir sama dengan cerita diatas, meski kemeriahan-kemeriahan tidak seperti dalam nuansa yang guyub . Gema sahur pun bertalu-talu dengan suara microfon dan juga beduk sebagai penambah semarak.


Suasana kemeriahan memang akan sangat membangkitkan memori pada ramadhan. Tapi pernah tidak kita (sebagai warga muslim) berpikir apakah kegiatan kita ini tidak berlebihan?tidak menganggu saudara-saudara umat lain agama?dan apakah saudara umat lain agama itu "terpaksa" tidak menghiraukan kebisingan hasil dari kegiatan kita?


Pertanyaan-pertanyaan semacam itu pasti pernah ada dalam benak umat islam. Apalagi jika kita hidup dalam lingkungan yang heterogen seperti di kota. setidaknya saya sendiri mendapatkan jawabannya. Sebelumnya perlu diketahui keluarga istri saya (bapak dan ibu dari istri) adalah penganut Budha. Sedang saya dan istri adalah islam. Beliau sangat menghormati ibadah saya. Tapi tidak jarang beliau mengeluhkan (pastinya tidak vulgar) bahwa kebisingan dalam ramadhan sedikit banyak mengganggu. Perlu diketahui Musholla di perkampungan tempat tinggalnya, kegiatan tadarus dilakukan dengan micphone sampai pukul 10 malam, dan dilanjutkan dengan woro-woro sahur pukul 3 dini hari. Parahnya lagi pada saat pukul 3 dini hari itu masih juga dilakukan pembacaan ayat-ayat suci via radio yang disambung ke microphone. Pastinya suatu hal yang wajar jika kegiatan terganggu pada saat istirahart dimana besok akan kembali melakukan aktivitas rutin. Mendengar sedikit keluh kesah ini, saya jadi ingat cerita El Manik, artis yang menjadi muallaf, ketika sebelum masuk islam, saking jengkelnya dengar suara adzan di microphone pada waktu subuh, pernah berkata dalam hatinya waktu dalam pencarian agama "Ya Tuhan, berikanlah agama kepadaku asal bukan islam". Bahkan istriku yang juga seorang muallaf, pernah bertanya kepadaku "Mas, kenapa sih adzan itu harus pakai microphone?, apakah rumah orang yang sholat tuh jauh-jauh sehingga harus memanggil dengan suara keras?", Aku pun menjawab bahwa "Sebenarnya adzan itu adalah indah apabila kita mengerti artinya, sedang suara keras itu datangnya dari manusia untuk menandakan waktu sholat saja. bukan karena rumahnya jauh"


Dari pengalaman diatas, mari kita khususnya umat islam, untuk lebih "memakmurkan" ramadhan dengan cara yang lebih santun. Meski tidak mengurangi kemeriahan-kemeriahan ramadhan yang menjadi pesan memori bagi kita semua. Dan selamat menjalankan puasa pada Mongso Romadhon !


No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix