Pages

Tuesday 1 July 2008

Gus Dur, Kiai, Politik dan Khittah NU

September 2006 Oleh: A. Mustofa Bisri

Gus Dur, Kiai, Politik dan Khittah NU September 2006 Oleh: A. Mustofa Bisri
Syahdan; begitu Kiai Cholil Bisri -Allah yarhamuh- dan kawan-kawan dari NU yang mempersiapkan berdirinya partai (PKB), termasuk H. Mathori Abdul Djalil, merasa sudah siap segala sesuatunya, mereka pun datang ke PBNU untuk melapor.


Gus Dur yang waktu itu menjadi ketua Tanfidziyah langsung rnengadakan rapat-rapat yang akhirnya mernbentuk tim untuk memfasilitasi terbentuknya partai barn (PKB) yang tugasnya antara lain menyusun pengurus pertama.

Bila kemudian hampir semua tim PBNU masuk. sebagai pengurus pertama PKB tidak ada yang mempersoalkan, tidak demikian halnya dengan penunjukan H. Mathori Abdul Djalil untuk menjadi Ketua Umumnya. Banyak sekali pihak yang menentang penunjukan tersebut. Gus Durlah orangnya yang paling gigih mengusulkan Mathori untuk menjadi Ketum. Dengan bahasa khasnya Gus Dur antara lain beralasan, "Ini ketua partai, bukan ketua NU. Kalau ketua NU memang sebaiknya dicarikan yang kiai, kalau ketua partai mesti yang juga bisa 'berkelahi'" Bahkan konon Gus Dur sempat menyatakan, bila semua tidak setuju, dia akan mendirikan partai sendiri dengan Mathori.
Hubungan H. Mathori Abdul Djali1 --terutama sebelum menjabat Menteri Pertahanan RI di zaman Presiden Megawati dan dipecat dari PKB-- dengan Gus Dur memang sangat dekat. Begitu dekatnya, hingga ada saja yang menjulukinya 'anak emas' Gus Dur. Tokoh Jawa Tengah ini sendiri tidak hanya menganggap dirinya murid Gus Dur tapi juga merupakan pengagum beratnya. Sikap atau ungkapan Gus Dur semusykil apa pun, Mathori bisa atau berusaha menafsirinya dengan tafsiran yang positif.
"Saya sendiri," kata tokoh yang sempat digelari 'raja pokil' itu suatu ketika, "sering baru bisa memahami apa yang dimaui Gus Dur setelah dua tahun kemudian. Waktu pertama kali mendengar ungkapan atau melihat sikapnya, saya juga
tidak mudheng, bahkan bingung." .
Jadi loyalitas Mathori kepada Gus Dur -waktu itu-memang tidak sekedar loyalitas hawahan kepada atasan. Apalagi, dia juga pasti menyadari bawah penerimaan para kiai dan lainnya terhadap dirinya, sehingga dalam muktamar PKB yang pertama berhasil terpilih menjadi ketua umum untuk kedua kalinya, tidak terlepas dari 'berkah' Gus Dur.
Siang berganti malam, malam berganti siang. Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Akhimya ~seperti kita ketahui- setelah sempat 'menguasai' Indonesia, Gus Dur menguasai PKB dan Mathori tersingkirkan. Sejak itu PKB benar-benar di bawah kendali Gus Dur sepenuhnya~ seperti halnya NU sebelumnya.
Narnun agak berbeda dengan ketika memimpin NU, dalarn memimpin partai, banyak kebijaksanaan Gus Dur yang sulit dipahami termasuk dan terutama oleh para kiai yang dahulu menjadi penduktung fanatiknya. Di PKB, Gus Dur dianggap nyaris sama dengan Pak Harto di Golkar tempo dulu. Kebijaksanaan Gus Dur adalah kebijaksanaan DPP PKB dan bukan sebaliknya. Para kiai -terutama yang terkenal dengan Kiai-kiai Langitan-- yang dulu selalu mendampingi Gus Dur, berangsur-angsur merasa diabaikan. Pendapat dan saran mereka tak pemah lagi didengarkan oleh Gus Dur. Bahkan sering kebijaksanaan Gus Dur bertabrakan dengan kehendak para kiai itu; seperti seringnya Gus Durmembekukan DPC-DPC tanpa alasan yang jelas. Sampai-sampai ada saja yang menjuluki PKB sebagai partai kutub, saking banyaknya DPC yang (di)beku(kan).
Puncaknya, pertikaian di kalangan elite PKB menjadi semakin carut-marut. Saya sendiri, karena diminta saudara-¬saudara di bawah, sudah ikut berusaha mendekatkan kedua belah pihak hingga akhimya kehabisan cara. Masing-masing pihak yang berseberangan seolah-olah sudah semakin tidak lagi memikirkan PKB dan warga pendukungnya. Bagi saya sendiri, pertikaian ini sungguh absurd. Mereka yang bertikai -yang nota bene para politikus NU- justru lebih mempercayai "pihak luar" untuk menyelesaikan masalah mereka. Bahkan belakangan di antara mereka, ada tokoh yang meminta Amin Rais --yang dulu sering dikecam saat berseberangan dengan Gus Dur-- untuk menolong menjadi mediator. Lucu dan sekaligus mengasihankan!
Boleh jadi sikap tokoh yang mencerminkan ketidakberdayaan itu disebabkan karena pada hakikatnya pertikaian di elite PKB bersumber dan bermuara dari dan kepada dua puncak pimpinan yang justru menjadi kekuatan inti PKB, dua pihak yang seharusnya menjadi pemimpin dlan penyelesai masalah-masalah intern: Gus Dur dan para kiai ("Langitan"). Karena keyakirtan bahwa kedua pihak inilah kekuatan PKB yang sesungguhnya, saya pun dari awal dengan sederhana menyarankan adanya pertemuan kedua kekuatan ini untuk menyelesaika:tnnasillah intl:irn•partai mereka. Namun ¬mungkin saya dianggap bukan 'orang dalam'-saran saya ini tak digubris.

Bila pihak kiai bersikukuh melawan, karena mungkin merasa diabaikan dan menganggap semakin hari kebijaksanaan Gus Dur di PKB semakin tidak bijaksana dan membingungkan; lalu mengapa Gus Dur bersikukuh melawan para kiai yang selama ini menjadi pendamping dan pendukung setianya? Apakah benar Gus Dur mengabaikan mereka clan mengapa sering mengambil kebijaksanaan yang membingungkan para kiai? Ada -dan mungkin banyak-- yang menilai hal ini disebabkan oleh adanya 'orang-orang' dekat Gus Dur yang mempengaruhi dan mengomporinya. Ini agak sulit diterima bagi mereka yang mengenal Gus Dur sebagai sosok yang sulit dipengaruhi dan dikompori.
Saya sendiri sudah sampai kepada kesimpulan yang mungkin dianggap banyak orang sebagai ngoyoworo: Gus Dur dengan berbagai kebijaksanaan dan manuver intemnya yang ditentang para kiai itu, barangkali -wallahu a'lam-¬memang sengaja ingin membuat para kiai itu jengkel. Lho, kenapa? Untuk apa?
Marilah sejenak kita kembali mcnelusuri peIjalanan kiprah Gus Dur agak lebih awal. Sebelum dipilih menjadi ketua umum PBNU dalam muktamar Situbondo 1984, Gus Dur dikenal sebagai pejuang kultural yang mempercayai keampuhan perjuangan kultural. Gus Dur ikut dalam Majlis 24 yang merespon secara serius seruan "Kembali ke Khitthah 1926!" Majlis kemudian membentuk Tim 7 dengan tugas merumuskan konsep awal Khitthah NU dan Gus Dur ditunjuk sebagai ketua tim. Draft hasil ketja Tim 7 setelah dilaporkan ke Majlis 24 kemudian dibawa ke Munas di Situbondo dimana Gus Dur menjadi salah satu pimpinan Sub Komisi Khitthah.' Dan akhimya konsep Khitthah yang dipereayai banyak pihak sebagai reaksi dari 'kegilaan' warga NU terhadap politik itu dibahas clan menjadi salah satu keputusan Muktamar yang memilih Gus Dur menjadi ketua umu":! PBNU urttuk pertama kalinya.
Gus Dur bersama beberapa tokoh NU yang 'non politik' kemudian dengan penuh semangat mensosialisasikan Khitthah NU yang berdampak antara lain: gembosnya PPP di bawah J.Narci pada waktu itu. Sampai dipilih kembali -secara aklamasi-sebagai ketua umum PBND di muktamar Yogja tahun 1989, Gus Dur tetap konsisten dengan sikap
Khitthahnya yang sering kali membuat mereka yang berpolitik pusing kepala. '
Ketika kemudian Gus Dur terjun langsung ke politik praktis, saya pun teringat suratnya yang ditulis dari Amsterdam tahun 1969 yang antara lain merencanakan mengajak saya memikirkan bagaimana 'mendidik' umat (atau bangsa, saya lupa) untuk berpolitik yang baik. Namun kemudian sesekali saya masih melancarkan kritik atas 'kebijaksanaan-¬kebijaksanaan politik'nya yang belakang rupanya kurang berkenan di hatinya. Saya pun akhimya diam dan merenung dan bermuara kepada kesimpulan yang ngoyoworo tadi. Gus Dur memang sengaja ingin membuat para kiai yang berpolitik itu jengkel dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan po1itiknya.
Nalarnya begini: Gus Dur menilai para kiai itu tidak dalam maqam berpolitik (praktis) yang lebih mengutamakan "menang-kalah" katimbang "benar-salah". Kiai biasa bergerak dalam medan "benar-salah" dan tidak terbiasa dengan permainan di ranah "menang-kalah". Jadi sebaiknya para kiai tidak usahlah berjuang di politik praktis. Toh perjuangan mereka selama ini di medan mereka sendiri sudah cukup mulia. Tentu Anda masih ingat apa komentar Gus Dur tentang Kiai Abdurrahman Chudlori, "BiarIah Kiai Abdurrahman berjuang di NU saja, lebih pas." Gus Dur juga pemah menasehati saya, ketika saya kritik 'kebijaksanaan politik'nya, agar saya menekuni budaya saja tak usah ngurusi politik!
Ketika Gus Dur melihat para kiai itu terus ngotot --mungkin karena sudah terlanjur mendarah daging-berpolitik (praktis), ia pun 'menyiksa' mereka di ranah yang dianggapnya tidak maqam mereka itu. Harapannya mungkin, para kiai itu akan kaku ati, frustasi, tidak krasan clan meninggalkan kehidupan berpolitik-praktis, kembali ke maqamnya semula.
Apa memang demikian? Wallahu wa Gus Dur a'lam. Yang saya tahu agak pasti, para kiai yang berseberangan dengan Gus Dur itu memang benar-benar 'tersiksa', minimal bingung; terutama setelah kubunya kalah dalam pengadilan. Mau bikin partai lagi, siapa yang menjamin tidak akan bemasib sama dengan PNU-nya Syukron Makmun atau PKUnya Solahuddin Wahid? Atau siapa yang menjamin nantinya partai baru itu tidak hanya untuk kendaraan pihak lain sebagaimana PKB sendiri?
Waba'du; lalu siapa yang memikirkan warga pcndukung PKB ya?

No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix