Pages

Thursday 5 March 2015

Menyibak Akar Sengkarut APBD DKI


Akhir-akhir ini kita disuguhi sebuah kasus luar biasa terkait perseteruan tentang APBD Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Perseteruan dilakukan antara sang gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI. Kasus ini muncul diawali penjatuhan sanksi dari Kementerian Dalam Negeri atas keterlambatan DKI dalam menyampaikan APBD secara rinci. Sanksi tegas pun diberikan oleh Kemenerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan tidak memperbolehkan pembayaran gaji Gubernur dan DPRD selama 6 bulan.

Beberapa saat itu, Ahok dengan karakteristik yang seringkali berbicara lugas, memberikan tanggapan sensitif bahwa keterlambatan tersebut adalah ulah DPRD yang yang menolak menggunakan sistem e budgeting. Lebih dari itu, Ahok menyambung dengan memberikan tudingan cukup serius dengan hadirnya dana siluman sebesar 12,7 triliun pada APBD tahun sebelumnya yang merupakan hasil inisiasi anggaran dari pihak DPRD. Angka yang fantastis tersebut ditengarai melalui pembelian UPS (uninterruptible power supply) ke beberapa sekolah-sekolah. DPRD tidak tinggal diam. Atas nama etika publik menghukum ahok melalui hak angket. Sedangkan Ahok membalas secara kontan pada hari yang sama dengan melaporkan dana siluman tersebut kepada KPK.

Dari kasus-kasus di atas, banyak pihak bertanya apa sebenarnya yang terjadi dengan sengkarut APBD di DKI? Apakah kasus dana siluman terjadi juga di dalam penentuan APBD di daerah-daerah yang notabene secara SDM dan database masih di bawah DKI?Siapakah yang benar dan yang salah dalam kasus ini? Sebagai negara yang tunduk kepada hukum, tentu pertanyaan satu-satu di atas akan terjawab apabila kita mendudukkan terlebih dahulu dalam koridor hukum atau peraturan perundang-undangan.

Dari pedoman perundangan tertinggi yakni UUD 1945, telah disebutkan Pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu paket yang disebut pemerintahan daerah. Kedudukan ini penting sekali. Derajat DPRD tidaklah sama dengan dan juga bukan cabang atau turunan dari DPR dalam skala nasional, meskipun memiliki satu turunan Undang-undang yakni Undang-undang tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD (MD3). Secara lebih jelas bisa dikatakan DPRD dan Kepala Daerah merupakan pelaksana peraturan Pemerintah Pusat. Dengan kedudukan tersebut, maka DPRD tidak diperkenankan untuk melakukan impeachment kepada Kepala Daerah.

Selanjutnya Dalam UU Keuangan Negara dijelaskan DPRD dapat menyampaikan usul yang dapat mengakibatkan perubahan pada penerimaan dan pengeluaran dalam APBD. Pasal utama yang menjadi patokan DPRD bahwa APBD yang diusulkan Pemerintah Daerah DKI tidak sesuai dengan kesepakatan APBD karena belum mengakomodir usulan DPRD. Benarkah Ahok tidak menyetujui usulan DPRD? Dari beberapa klarifikasi Ahok yang menjadi pokok permasalahan adalah satuan biaya per kegiatan bukan besaran usulan. Nilai APBD sudah sesuai, hanya item-item diubah dengan versi e budgeting. Dua tafsir pengaturan APBD inilah yang menjadi pokok permasalahan. Apabila berkaca pada APBN, telah disepakati putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-XI/2013 terkait judicial review atas UU MD3 dan Keuangan Negara, sehingga membatasi pembahasan APBN hanya pada taraf program, fungsi dan organisasi. Pembahasan per kegiatan dan jenis belanja dalam APBN sudah dihilangkan dan dikembalikan fungsinya kepada Pemerintah. Hal ini untuk mengurangi kasus kasus korupsi DPR dengan pemerintah serta meningkatkan efektivitas pembahasan anggaran yang berlangsung sangat singkat. Namun dalam putusan MK tersebut tidak disebutkan pasal-pasal yang mengatur APBD , sehingga praktik pembahasan APBD yang melibatkan DPRD dan Pemerintah Daerah masih harus melakukan pembahasan APBD dalam rincian belanja per program, fungsi, kegiatan dan jenis belanja. DPRD pun masih berhak ikut melakukan utak atik kegiatan sampai satuan tiga di SKPD. Sungguh pekerjaan ekstra dengan staf terbatas pada DPRD yang hanya mengurusi administrasi ecek-ecek, sedangkan kesesuaian program dengan jumlah miliaran bahkan triliunan yang berdampak langsung kepada rakyat terbengkalai. Sangat dimaklumi apabila Menteri Dalam Negeri mengatakan bahwa APBD tidak efektif dan hanya mengalokasikan sedikit sekali pada program infrastruktur.

Sebagai sumbangsih saran dari kasus sengkarut APBD, yang dapat dilakukan adalah melalui dua cara, eksternal dan internal Pemerintah. Pihak eksternal yakni lembaga swadaya masyarakat yang berkompeten mengurusi anggaran nasional dan daerah seperti Indonesian Corruption Watch, Fitra, dan organisasi lainnya melakukan judicial review kembali terkait UU Keuangan Negara dan UU MD3 yang berkenaan dengan pasal-pasal yang terkait pengaturan APBD. Perlu dilakukan batasan pembahasan APBD hanya sampai dengan program dan fungsi agar sesuai dengan pembahasan APBN. Hal ini selain untuk membatasi korupsi antara DPRD dan Pemerintah Daerah, tetapi juga untuk meningkatkan efektivitas pembahasan APBN di DPRD pada taraf yang lebih krusial daripada administratif semata. Sedangkan di pihak internal Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, dapat membuat peraturan terkait hal sebagai berikut:

1. Adanya batasan minimum belanja infrastruktur pada APBD. Selama ini yang diatur kapitalisasi dalam APBD adalah belanja modal. Yang dikategorikan belanja modal adalah barang yang memiliki nilai satuan di atas 350 ribu dan tidak untuk diserahkan, serta menambah aset pemerintah. Dengan penyebutan belanja modal,maka tentu sangat mudah mengalokasikan barang-barang tersier seperti UPS, laptop, aplikasi software dan lainnya daripada jalan atau jembatan yang sesama belanja modal.

2. Usulan DPRD terkait APBD harus dituangkan dalam pembicaraan pendahuluan, hal ini untuk dapat dibahas lebih detail terkait output dan sasaran yang akan dituju.

3. Pembahasan APBD dapat melibatkan perwakilan kelompok masyarakat, sehingga dapat lebih transparan.

No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix