Pages

Tuesday 4 May 2010

Sinar ilahiah dalam diri Kartini

Pada suatu forum saya membaca ada sebagian orang yang meragukan kepahlawanan seorang Kartini. Ya bermacam macam alasannya, ada karena kartini diciptakan sebagai simbol kapitaslislah, ada pula karena Kartini simbol Jawanisasi, bahkan yang paling serem adalah mempertanyakan kenapa Pemerintah memberi jasa pahlawan kepada seseorang yang kerjaannya nulis surat doang……Mungkin dianggap nulis suratnya Kartini sama dengan nulis status di facebook kali ya….heheheh..

Tentu saja saya gk akan bahas terlalu jauh pikiran pikiran semacam itu. Bahasa kasarnya Ngomongo sakarepmu, Kartini ya tetap Kartini.

a. Proses Bertanya
Laiknya seorang Nabi Ibrahim yang ”mencari” Tuhan dengan bertanya pada benda benda asing, begitupula Kartini dengan sikap kritisnya, bertanya tentang agama khususnya Islam ( Jadi inget deh, waktu dulu SD kelas VI, saya harus kena label musyrik gara gara tanya isi Ka’bah ke guru SD, hahahaha).
Hal itu ada termaktub pada surat Kartini kepada Stella dalam suratnya pada 6 November 1899.
Dan, sebenarnyalah saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam. Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Quran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apapun juga. Disini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Disini orang diajari membaca Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana.
………………………………………………………………………………………………….
Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan Tuhan Yang Sama”
Tulisan Kartini diatas seperti mengingatkan saya tentang sebuah hadist “Orangtualah yang bisa membuat anak menjadi Majusi, Yahudi dan Nasrani”. Pertanyaannya, mengapa Islam tidak disebut oleh Nabi?Karena Islam itu datang tidak bisa dari sebuah warisan. Islam adalah hadiah dari Perjuangan. Jika ngaku islam, kata orang jawa ya akeh tunggale.

b. Hadiah Pernikahan yang Tiada Tara
Dalam sebuah buku kecil yang ditulis oleh Asma Karimah (2001), ia menulis tentang pertemuan Kartini dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang.[ Kyai Haji Sholeh Darat (demikian ia dikenal) sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara. Pada suatu ketika, Kartini berkunjung ke rumah pamannya seorang bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama raden ayu yang lain dari balik hijab (tabir). Kartini tertarik dengan pengajian yang disampaikan oleh Kyai Haji Sholeh Darat yang saat itu membahas tentang tafsir Al-Quran Surah Al-Fatihah. Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Saat itu Kartini bertanya kepada Kyai Sholeh Darat tentang hukum orang berilmu yang menyembunyikan ilmunya, lalu Kartini mencurahkan isi hatinya yang selama ini tidak pernah mengerti makna kandungan ayat-ayat Al-Quran. Setelah pertemuan tersebut, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur’an) jilid I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia sebelum menyelesaikan penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. kegembiraan Kartini menerima terjemahan Al-Quran pernah ia tuliskan dalam suratnya kepada E.C. Abendanon pada 17 Agustus 1902. Saat itu Kartini hanya menulis ada orang tua yang memberikan terjemahan Al-Quran kepadanya.
Wahai! Kegembiraan orang-orang tua mengenai kembalinya anak-anak yang tersesat kepada jalan yang benar demikian mengharukan. Seorang tua di sini, karena girangnya yang sungguh-sungguh tentang hal itu menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa. Kebanyakan ditulis dengan huruf Arab. Sekarang kami hendak belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Kamu barangkali tahu, bahwa buku-buku Jawa itu sukar sekali didapat, karena ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak.
“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang”
“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah, bukan kepada manusia….”
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah. Tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dialah yang dapat menyembuhkan…. Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah (Abdullah).”

Tulisan Kartini ini menyiratkan sebuah sinar sinar tanda orang beriman dari Quran. Suatu cahaya yang berseri seri setelah menerima rahmat ilahi, tentu saja setelah melalui proses pencarian, bukan modal warisan belaka.

c. Keilahian dalam Diri Kartini

Perjalanan keilahian seorang Kartini beranjak sarat akan sufisme yang merupakan tipologi agama islam dalam ranah Jawa, hal itu terdapat dalam surat yang ditulis pada tanggal 20 Agustus 1902" Tuhan itu cemburuan. Dia tidak memperkenankan orang meyembah dewa-dewa lain kecuali Dia, Karena itulah Dia menyatakan hukuman dengan cara menyadarkan orang yang menciptakan dewa-dewa bagi diri mereka sendiri dan menyembahnya dengan penghormatan yang setinggi-tingginya. Kesadaran adalah hukuman yang pahit rasanya." Penghambaan terbesar kepada Tuhan adalah pembebasan diri yang terhebat dari ketergantungan material.


Pengertian emansipasi yang kadang diartikan secara keliru oleh para kaum feminim akan dapat segera diketahu dengan melihat surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis, ‘Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama". Adakah kata-kata Kartini ini yang bertentangan dengan Islam?Terbayang sekarang nasib perempuan yang masih banyak hidup dalam tekanan, beribu ribu bahkan berjuta TKW hidup tersiksa di luar negeri. Tentu saja jauh dari cita cita Kartini.

Pikiran Kartini pun semakin meluas dengan mampu menganalisa peradaban eropa, sebuah peradaban maju yang mengaku sebagai kiblat dunia, meski demikian Kartini pun memberi kritik keras tentang peradaban eropa yang tidak sesuai dengan kemanusiaan.
, “…, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).

Semua orang boleh berbicara tentang Kartini, tapi Kartini tetaplah Kartini, yang memberi kehidupan lebih panjang dari umur hidupnya sendiri.


Sumber:
(1) Al-Qur’anul Karim
(2) Dinata, Arda, “Kartini dan Muslimah Sejati”
(3) Fauzan, Pepen Irpan dan Syarief, Nashrudin, “Kartini, Islam, dan Emansipasi”
(4) MJ Institute, “Pengaruh Al-Qur’an terhadap Perjuangan Kartini”
(5) Sarasi, Vita, “Menelusuri Jejak Kartini”
(5) Karimah, Asma. Tragedi Kartini: Sebuah Pertarungan Ideologi. Bandung: Asy-Syaamil, 2001.
(7) Soeroto, Sitisoemandari. Kartini: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung, 1979.
(8) Sumartana. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Jakarta: Grafiti, 1993.
(9) Surat-surat Kartini, Renungan tentang dan untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno. Jakarta: Djambatan, 1979.
(10) Toer, Pramoedya Ananta. Panggil aku Kartini saja. Jakarta: Hasta Mitra, 2000.

No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix