Pages

Tuesday 29 July 2008

Pandito turun panggung

Sabtu, tepatnya tanggal 26 Juli 2008, seperti biasa saya menghadiri acara kongkow bareng Gus Dur. Sudah lama saya absen, entah karena kesibukan kantor atau keluarga. Cukup kangen juga dengan teman-teman di acara tersebut yang meski segelintir tapi cukup kompak, dan pastinya jajan pasar yang tersedia berikut teh hangat yang diseduh diatas gelas-gelas cina. Uenak lan sueger.



Akhirnya muncullah mobil berplat B 1926 AW yang merupakan mobil sang pembicara, KH Abdurrahman Wahid. Ya dengan dibantu tiga asistennya, GD (demikian media sering menyingkat inisial beliau) turun menggunakan kursi roda. Kerumunan orang pun tanpa dikomando ikut serta. Kadang ada yang menyalaminya dan mencium tangannya. Dan yang pasti wartawan tak berhenti melakukan pemotretan peristiwa demi peristiwa. Jepret-jepret.


Acara akhirnya dimulai pukul sepuluh lebih lima menit, meski mas Guntur (pakai topi koboi dengan jambangnya) ketinggalan lima belas menit dari GD. Tapi acara yang memang disetting santai itu pun digelar dengan ritual pembacaan kutipan kalimat al hikam dari P. Ucun.Dan GD pun menimpalinya dengan gaya yang santai. Oh ya siang itu, GD didampingi oleh panglima-panglima lengkapnya. Yakni Adhie massardi, Chotibul Umam dan tak lupa Gus Nuril. Sehingga acara tersebut bisa dikatakan reunian.


GD pun dengan sikap santainya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pendengar maupun juga dari hadirin yang langsung berada di teater utan kayu, tempat berlangsungnya acara tersebut. Pertanyaan yang diajukan kebanyakan berkisar mengenai PKB dan gonjang-ganjingnya. Menurut penilaian saya, GD tidak menunjukkan ekspresi kekecewaan sama sekali dengan adanya konflik tersebut. Dia bisa tertawa lepas. Dalam menjawab pun terasa GD sangat menghargai sistem organisasi dalam penyelesaian (apakah ini pembenaran dari subjektifitas saya???).


Pernyataan-pernyataan cenderung bersifat datar-datar saja, bahkan ledekan tentang calon pewaris GD. Lempar lelucon dari audiens tentang pengganti GD ditandai dengan sikap adem oleh GD. Bahkan GD pun menimpali konflik PKB dengan pancingan "Jika orang mengatakan Yenni adalah pasangan saya. itu salag besar. Yenni itu tidak ada apa-apanya jika diadu dari sekjen2 yang pernah ada". Begitulah GD yang bersifat realistis, meski kadang orang mengatakan dia ngawur. Saya sendiri tak pernah kaget dengan pernyataannya, tetapi bukan berarti saya selalu membenarkan pernyataannya lho !


Tapi dari sudut pandang saya (pasti bisa benar atau juga bisa salah), GD menunjukkan aura kelelahan yang sangat. Saya kira GD sangat berjuang dengan tenaga dan pikiran (maaf, bisa dikatakan sedikit ragu) akan kondisi bangsa dan negara akhir ini. Dalam pandangan saya, meski pernyataan-pernyataannya cenderung menggampangkan masalah, tetapi dibalik itu dia benar-benar kehilangan "kesabaran" akan keruwetan negeri ini yang telah merdeka selama 63 tahun. Kasus-kasus penindasan minoritas serta intrik-intrik politik yang tidak sehat seolah menguras tenaga dan pikiran. Bahkan GD menyetujui sebuah pernyataan diawal acara oleh seorang audiens melalui telepon "GD itu sama dengan Soekarno. Dia mendirikan partai tapi pada akhirnya dia pun ditinggalkan". Bahkan GD berterima kasih atas pernyataan tersebut dan diberi nilai realistis.


Benarkah GD akan turun panggung politik?pernyataan ini sebenarnya mudah ditebak. Dalam politik praktis, GD sudah menunjukkan bahwa ambisi politiknya sudah selesai. Sikap GD untuk maju dalam perpolitikan hanya atas dasar "perintah" kyai sepuh yang pastinya lebih dekat dengan kondisi rakyat yang semakin terjepit dan terlilit oleh ekonomi yang kurang stabil. Apakah ini yang menjadikan GD sebelum soeharto meninggal memuji bahwa prinsip pembangunan Soeharto mempunyai arah yang lebih jelas daripada sekarang?. Sebuah arah yang bisa dipahami oleh seluruh masyarakat dan membuat Soeharto lekat dengan sebutan Bpk Pembangunan.


Sebuah pernyataan haru akhirnya muncul. GD mengatakan bahwa saya tidak ingin apa-apa, saya cuma ingin tidak dicaci setelah mati nanti. Sebuah pernyataan yang wajar dan sesuai dengan hadist nabi agar kita tidak mengurai aib-aib seorang muslim setelah meninggal, pun dalam bahasa jawa ada pepatah "mikul dhuwur mendem jero", melakukan penghargaan terhadap pendahulu. Meski itu diucapkan bukan dengan nada kekalahan terhadap suatu persoalan, tetapi saya menangkapnya sebagai simbol letihnya perjuangan sang GD. Meski perjuangan harus ditegakkan sampai akhir, tetapi usia jualah yang memisahkan batas sosial antara dunia dan akhirat. Semoga kita bisa meneladani sikap negarawan yang beliau lakukan dan membuang jauh-jauh kesalahan yang telah terjadi demi kebaikan umat, bangsa dan negara


No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix