Pages

Monday 2 June 2008

Pancasila, diambang punah

Tangisan Wanita Ahmadiyah

Seorang ibu dengan jilbab yang menutupi kulit yang sedikit hitam manis ala suku timor tak kuasa menahan deru tangisnya. Ibu tadi siang itu berada di Teater Utan Kayu. Bukan untuk teater, apalagi syuting film. Beliau menceritakan nasib kumpulannya beserta anak-anaknya yang dihantam oleh kekerasan tidak bertangungjawab sebuah kaum fundamentalis islam.

Acara Kongkow bareng Gus Dur itu menjadi sebuah rekaman original tentang nasib Ibu dari Lombok yang sekarang hidup dibawah pengasingan karena rumah dan masjidnya dibakar oleh massa yang tidak jelas asal usulnya. Tidak jelas. Iya, tidak jelas karena mereka bukan berasal dari kalangan dekat pemukiman yang saban hari hidup berdampingan. Disebut massa, karena lebih dari satu orang dengan pergerakan yang terorganisir sangat rapi. Ibu tadi melanjutkan dengan ceritanya bahwa anak-anaknya mendapatkan diskriminasi. Anak-anak mereka dalam pelajaran di sekolah dipisahkan dengan anak-anak yang lain. Selain itu dalam rapor ditulis oleh pihak sekolah dengan agama : ahmadiyah. Hal ini membuat pihak anak-anak merasa minder, karena mereka menganggap ada hal yang aneh bagi mereka dengan penulisan ahmadiyah. Mereka sudah dibabat rasa kepercayaan dirinya semenjak dini untuk menjadi anak bangsa yang mampu berkompetisi di kancah Global yang didengungkan oleh kebangkitan indonesia.

Selanjutanya Ibu ahmadiyah yang menceritakan kisah pilu non fiksinya. Ibu yang berusia setengah baya dengan balutan jubah muslimah yang santun ini menceritakan sebuah malam kelam yang menghanguskan masjid sebagai sarana ibadahnya. Sebuah penghancuran masjid yang mirip dengan operasi Partai Komunis Indonesia di jaman orde lama ini telah menjadi momentum kelam bagi kelangsungan hidupnya. Bahkan diantara massa yang tidak bertanggungjawab ada yang berbicara "kita perkosa ibu yang hamil, karena kita tidak akan diminta pertanggungjawaban atas kelahiran anaknya" ungkap Ibu dari Jamaah Ahmadiyah Sukabumi ini dengan logat sunda yang kental. Entah ada dalam pikiran massa tersebut. Yang pasti kitab Al Qur'an pun tak ada perintah untuk memperkosa wanita, sekafir apapun manusia tersebut.

Mega dan Pesta Rakyat
Bukan Megawati namanya jika dia tidak bisa menyedot massa. Siang itu sekitar pukul 10.30 WIB di silang Monas sudah dipadati oleh massa yang berbaju mayoritas merah darah dengan gambar mega dan ayahanda soekarno di bagian depan, serta di tulisan indonesia di punggung T-Shirt. Ibu-ibu yang mendominasi acara tersebut serta anak-anak ABG terlihat santai dan asyik berjalan dengan diselingi cengkeramanya. Mereka pun menuju 3 panggung yang disediakan oleh panitia, dimana setiap panggung telah siap sedia MC dan artis yang menghibur 150 ribu massa PDI-P yang berdatangan dari Jabodetabek dan sekitarnya. Terlihat ada Project-P, Eko Patrio, Serius Band.
Puncaknya Megawati muncul dan dengan suara serak khasnya mengumandangkan kata "Merdeka" sebanyak 3 kali. Sedikit yang saya simak dalam pidato yang kurang lebih 20 menit adalah sebagai berikut "Pancasila sudah ada ribuan tahun lalu sebelum indonesia merdeka. Bung Karno merumuskannya pada 1 Juni 1945 menjadi 5 sila, dari 5 sila dapat diperas menjadi 3 sila, dan dapat diperas menjadi satu yaitu gotong royong. Iya, budaya kita adalah gotong royong. Kita memang menghadapi krisis ekonomi yang memprihatinkan, tetapi masak kita mau menyerah. Kita sudah pernah menghadapi tantangan yang jauh lebih hebat..................................................................................
Saya sangat bangga dengan kader PDI-P yang bisa tertib, kita tunjukkan bahwa massa mempunyai budaya gotong royong. Meski sebelumnya saya sudah mendengar akan adanya upaya dari kelompok yang mau mengganggu kita"

Akhirnya pidato diakhiri dengan ucapan khasnya yakni Merdeka.

Ironi Fundamentalis
Saya pun dengan menghela nafas akibat panasnya terik matahari di padang monas yang kebetulan tidak bersahabat dengan kulit. Akhirnya saya pun sampai di tempat parkir untuk menunggangi sepeda motorku yang sudah kekeringan akibat ulah sang surya itu. Saya coba tarik gas dan menuju arah istiqlal. Alamak, baju berseragam putih-putih dengan sepeda motor dan tanpa helm sudah bersiap-siap di depan Istiqlal. Mereka dengan santai berjalan melaju pelan tanpa helm di depan kerumunan Polisi. Dalam hatiku, wah gila nih FPI, kayak pejabat saja sudah aman dari hukum. Saya pun pelan melaju dengan motor saya, eh ternyata mereka dengan sikap yang kurang bersahabat sangat pelit untuk memberi jalan dan mengomel dengan kata-kata kasar, salah satunya saya dengar dengan bahasa jawa "taek" (kotoran manusia) sambil mengibarkan bendera dengan lafal arab. Tapi saya pun akhirnya mengalah dan lolos dari kepungan gerombolan yang menggunakan logo FPI (Front Pembela Islam).

Sampai di rumah, sambil menghela capek dan haus dengan air minum ke kerongkonganku, kunyalakan TV. Iya Metro TV, saya nyalakan. ada sebuah running text yang membuat aku penasaran. Massa FPI menyerang Aliansi kebangsaan di silang monas. Aku semakin penasaran dan kutunggu lagi kabar selanjutnya. Alamak, FPI dengan beringasnya memukuli massa AKB yang banyak juga terdiri dari wanita dan anak-anak dengan bambu-bambu. Ada kepala bocor, ada janggut pecah dan ada juga yang tersungkur. Polisi pun laksana diam seperti patung. Saya benar-benar teringat tentang ucapan Mega " Meski sebelumnya saya sudah mendengar akan adanya upaya dari kelompok yang mau mengganggu kita".

Sebuah ironi di hari Pancasila, hari jadinya NKRI. Apa jadinya negara ini jika bangsa ini menjadi beringas?sungguh Pancasila diambang punah.

No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix