Pages

Monday 28 April 2008

Putuk Kursi

Byur…Byur… tampaklah jelas pandangku pada sebuah air terjun Cuban Canggu yang terus mengalir liar. Suasana Penanggungan pada siang hari tampak begitu menawan hati bak gadis perawan yang tengah membasuh muka di pagi hari. Begitu lezat untuk di pandang mata lelaki. Namun kelezatan Penanggungan tampaknya masih terbias oleh Sang Saudara Welirang yang menimang bayi cantik Putuk Kursi (sebuah daerah Mojokerto terpencil yang oleh para sesepuh disebut misteri suksesi dari Raja Majapahit sampai Presiden sekarang ini)

Hari itu aku melaju dengan naik sepeda motor Supra dengan seorang yang aku panggil Pak Agus. Dia adalah seorang guru di sebuah SMA yang dekat daerahku yakni daerah Mojosari, daerah persimpangan antara Mojokerto dengan Pasuruan lebih tepatnya. Yang paling aku suka adalah gaya khasnya yang lebih mirip koboi dengan semua atribut lengkapnya mulai sepatu Bot yang katanya milik anggota Hansip sampai dengan topi yang dikenakannya. Mungkin bedanya dia naik sepeda motor sedang preman barat itu pakai kuda saja.

Agenda siang itu adalah pengambilan gambar lokasi sumber sungai yang mengakibatkan bencana banjir di Wilayah Mojokerto yang konon baru pertama kali ini dari Jaman Mojapahit, Kota Raja bisa terendam sampai memporak porandakan sebagian tata kota dengan kerugian miliaran rupiah pastinya. Sebuah Handycam merek Sony aku tenteng dibelakang, rupanya Pak Agus benar-benar serius dalam pengambilan gambar sampai dia rela mengeluarkan kocek pribadinya hanya untuk beli handycam. Tetapi aku sudah lama kenal beliau, kalau sudah terjun dalam sesuatu pasti dengan sepenuh hati tak peduli waktu, biaya ataupun tenaga. Dan sepertinya karena faktor itu juga yang membuat ekonominya harus babak belur meski berstatus PNS yang didaerahku masih termasuk orang terpandang.

Pak Agus dengan lihai memainkan setir si kuda besi melewati terjalnya ruas jalan yang semakin lama semakin tek beraturan. Dalam hatiku menggerutu kurang ajar benar memang kontraktor Departeman Kimpraswil membangun jalan saja kok tidak becus masak kalah sama Belanda yang bisa bangun jalan dari Anyer sampai Panarukan pada masa lalu sampai sekarang tetap dapat berfungsi dengan baik. Hamparan hijau dari warna pepohonan menyapa dengan dahannya yang gemulai. Kadang juga pemandangan hot juga menghampiri pandanganku ketika pasangan muda-mudi lagi mojok disela-sela belukar. Tahu aja mereka tempat yang tepat berbagi sebab hawa dingin jelas merasuk tubuh makhluk berdarah panas yang ada disekitarnya. Kuhirup udara segar dan kulepaskan pelan-pelan seakan tidak rela candu Gusti Allah itu lepas dari lubang hidungku. Sekali waktu belokan tajam tak dapat terhindari tapi memang boleh juga kemampuan manusia 43 tahun ini.

“hai ini lho tempat Gajahmada dulu disumpah oleh Dewan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa” Kata pak Agus membuyarkan lamunanku
“Lho Bapak tahu darimana, dari SMP sampai SMA maupun buku-buku ataupun peta tidak ada kok tertulis daerah Pacet ini ada hubungannya dengan daerah Majapahit” protesku sembari memberi argumentasi sejarah pada Pak Agus.
“Orang Indonesia adalah orang yang teraneh di dunia. Suka sekali percaya pada data-data statistik yang mereka tahu sendiri itu adalah tidak sesuai dengan fakta. Jaman orde baru kita “diwajibkan” percaya data statistik bahwa negara kita dari tahun ke tahun semakin kaya tapi kita pun tahu bahwa dari dulu kita cuma kaya utang thok”
“Jadi Pak Agus tahu darimana?”
“Dari Allah”
“maksud Pak Agus lewat tapa alias semedi?”
“orang islam tapa dan semedinya itu dalam sholat sayang”

Tak lama kita melewati apa yang disebut Putuk Kursi oleh Pak Agus itu, sampailah kami pada desa yang bernama Pacet dan kita berhenti di suatu kedai kopi kecil ukuran 4m X 4m . Disitu kita memesan kopi hangat serta ubi godhog. Seorang ibu tua menyajikan pakanan desa itu dengan cepat dan aku pun tak kalah jemput bola dengan mereguk kopi yang sungguh terasa nikmat aroma maupun rasanya. Sementara itu Pak Agus terlihat begitu akrab dengan penduduk kampung dan tampak ada pembicaraan serius. Dari istilah yang berhasil aku rekam kayaknya mengarah topik reboisasi hutan. Mereka sebut juga ada kelompok warga desa akan berkerjasama dengan TAHURA untuk menyelamatkan hutan yang gundul. Sedang disini Pak Agus termasuk dalam unit penerangan dan informasi yang menyediakan dokumentasi pelaksanaan kegiatan penduduk.
Adalah kebiasaan bagi warga kita baru bergerak jika musibah telah terjadi. Adapun kerusakan hutan akibat penjarahan tersebut sudah berlangsung puluhan tahun lalu sehingga hutan yang dulunya menghijau tampak meranggas dan seolah tak bergairah. Dan juga omong kosong jika adanya perhatian serius dari Pemerintah mengenai kejadian ini. Bencana banjir yang menimpa Mojokerto pada Januari 2004 seakan menjadi souvenir yang berharga dari Yang Maha Kuasa agar kita selalu ingat dan tak terbius oleh nafsu yang ingin selalu instan dalam menggapai sesuatu.
Setelah lama berbincang akhirnya kita menuju sungai yang terletak persis di atas sungai Brantas. Disitulah lokasi tempat pengambilan gambar. Jelas sekali banyak sawah yang terseret oleh deras ombak. Begitu pula batu batu utuh sebesar setengah gajah menggelinding dan akhirnya bertabrakan membuat alunan melodi gemuruh laksana guruh di waktu hujan. Setelah satu jam kita melakukan shooting akhirnya kita pulang tepatnya sehabis Maghrib diiringi hujan rintik-rintik yang menawar keringat kami. Sampai dirumah aku langsung menuju jeding membasuh badanku dengan air segar dan aktivitas penutup pada hari itu bisa ditebak apalagi kalau bukan tidur lelap.


II

Esok yang benderang mengingatkan aku tentang suatu hari yang disebut Pilpres yang ke 2 pada 20 September 2004. Ya Plipres akan menghasilkan juara baru, yakni BOM (Bambang Or Mega). Kucuci mataku dan eh aku lihat TV pas jam 17.00 WIB Quickcount menyatakan SBY menang 62;38% . Langsung pikiranku membayangkan sosok yanng tegap, ganteng, berbicara dengan bijak serta sopan. Sangat jarang dijumpai seorang dari kalangan militer tulen mempunyai kemampuan berpidato dan analisa yang jernih yang mungkin hanya bisa dikalahkan oleh Eep Saefullah Fatah dalam analisisnya. Tapi di lain pihak saya membayangkan Ibu yang dengan senyum dan berbaju merah berbicara dengan suara sedikit serak tetapi enak didengar. Ya Ibu Mega harus turun tahta karena keinginan sebagian besar rakyat Indonesia dalam Pilpres 2004 ini.

Bukan rahasia bila kekuasaan pun bisa merubah sejarah dan memutarbalikkan fakta, bukan rahasia bila aku adalah seorang pemimpi dan aku bukanlah satu-satunya di dunia ini*). Seperti sandiwara raja-raja Kerajaan Jawa yang selalu membuat hasil karya entah prasasti, kitab atupun candi yang ingin agar mereka dikenang dan ditulis dengan tinta emas terjadi juga dalam dunia Indonesia sekarang. Ungkapan sejarah hanyalah perulangan dari kejadian tepat sekali. Mega Fakta, kuis yang diterbitkan oleh Yayasan IMM atau juga lewat kampanye didengungkan keberhasilan meletakkan dasar ekonomi yang maju, memperoleh pendapat pajak terbesar dalam sejarah atupun mengurangi penduduk miskin sampai 16% (mungkin yang super melarat tidak dihitung oleh BPS ya). Paling tidak jika jadi presiden nama kita akan dikenal dan dihafal oleh siswa-siswi SD dalam pelajaran sejarah atau juga kaki kita akan tertancap di prasasti Hall of Famenya Istana Merdeka yang terletak disisi Monas. Sebagai manusia Indonesia yang seutuhnya karena saya pernah ikut P4 maka saya ingin sekali orang miskin tidak ada lagi atau kalau ada ya dipelihara oleh negara sesuai pasal 34 UUD 1945 (manis banget ayatnya ya), juga pendidikan murah dan bermutu (mencerdaskan kehidupan bangsa, lha wong sekarang lulusan SMA saja nggak bisa bahasa Inggris yang baik dan benar. Terus lagi aku anake wong ngarit
Mempunyai keinginan sekolah di Universitas Airlangga yo mimpi yo, kan sekarang sekolah itu bisnis. Jer Basuki Mawa Bea, mungkin sekarang bisa diartikan nduwe panjer lan susuki torano, kowe baru bisa kuliah), dan juga perluasan kesempatan kerja (masak kerjaan kita mengirim babu-babu ke luar negeri saja, malu khan. Kita khan negara besar, Zamrud Khatulistiwa lho terbentang dari Sabang-Merauke diapit Samudera besar Hindia dan Pasifik dari 6 LU-11 LS dan 95 BT-141 BT. Aduh alangkah kayanya kita ya, alangkah sejahteranya…..eh belum toh).

Lir-ilir lir ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo royo
………………
Cah angon cah angon
Penekno blimbung kuwih
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dada tiro
……………
.
Sebuah lirik lagu Jawa yang akrab di kalangan masyarakat pedesaan dan mengandung makna yang dalam bagi wong abangan. Suasana ekonomi dan politik yang panas sangat terasa dalam cuaca kehidupan masyarakat pada umumnya. Jika cuma misuh-misuh itu mungkin dalam konteks yang wajar sebab itu karena panasnya dada ini. Di lirik ini disebutkan cah angon, dalam masyarakat sekarang pengasuh yakni ulama atau aparatur negara. Dengan keadaan yang sekarang ini masyarakat butuh untuk diayomi, diperjuangkan atau dilayani biar suasana dingin sejuk seperti ilir ilir sing ijo royo-royo.

Putuk kursi oh putuk kursi. Jika memang tanah Jawa ini ditakdirkan sebagai tanah perebutan kekuasaan maka kami menerima ya Robbi. Tetapi kami juga memohon sudahilah pertumpahan darah yang laksana perebutan tahta dii Singosari. Hadirkanlah Jaman Majapahit yang selalu memayu hayuning buwono dengan ridhomu. Ya buat bapak SBY, ber-palapal-lah sampai cita-cita negeri ini tercapai seperti Gajah Mada yang juga dari militer dan telah memeluk islam meski tanpa prasasti tanpa tahta saat dia meninggalkan bumi ini (ilang sengkalaning bumi).

oleh Lisno Setiawan, 12 Oktober 2004

Catatan:
- Cerpen ini juga menjadi saksi bahwa harapan rakyat tergadaikan
*) Lirik lagu Dewa berjudul “Bukan Rahasia” (Album Cintailah Cinta)

No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix