Pages

Monday 31 March 2008

Kongkow Bareng Gus Dur : Pribumisasi Islam Model Kiai Bisri

HAJI Demar Sahid Tjokroaminoto mempunyai dua orang sepupu, yaitu KH Hasyim Asy'ari dan KH A Wahab Chasbullah. Di samping itu, ia juga mempunyai menantu bemama Soekamo, di belakang hari terkenal dengan panggilan Bung Kamo. Sejak 1919 mereka bertiga dan Soekamo mendialogkan semangat kebangsaan dan agama Islam. Mereka membentuk. klub diskusi pada 1919.

yang dinamai Taswirul A:fkar (konseptualisasi pemildran). '
Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari tindakan lain, yaitu mendirikan Syarikat Islam Cabang Mekkah pada 1913. KH M Bisri Syansuri, ipar KH A Wahab Cbasbullah, tidak mau turnt serta dalam memimpin SI Cabang Mekkah itu. la menyatakan bahwa ia sedang mengajukan permintaan izin tertulis dari gurunya KH M Hasyim Asy'ari di Tebuireng (Kabupaten Jombang).
Perang Dunia Pertama pada 1914 membuat mereka segera pulang ke Tanah Air. Perkecualian dalam hal ini adalah KH A Wahab Chasbulah yang tinggal di Mekkah hingga 1917. Sementara itu, sang ipar, yakni KH M Bisri Syansuri, sudah diberi tanah oleh mertuanya di Denanyar Jombang untuk membuat pesantren dan tinggal di kompleks itu.
la dan sang ipar KH A Wahab Chasbullah aktifmengikuti pengajian-pengajian yang didatangi KH Abdul Mu'ti, tokoh Muhammadiyah yang belakangan menjadi sesepuh GPIl (Gerakan. Pemuda Islam Indonesia) di kawasan MenteIlg, Jakarta. Kalau orang ingin tetap kering dan tidak basah, padahal ia sering mengikuti orang yang kerjanya sehari-hari membawa orang lain ke kamar mandi, ia juga akan basah.
Dari ucapan itu jelas bahwa "menjadi basah" adalah keadaan sehari-hari seseorang yang mengikutinya. Nah, orang yang tidak rasional mengharapkan keadaan kering dari orang lain yang hidupnya meroang di tempat basah. Penggunaan perumpamaan seperti inUah yang sering digunakan para ulamalkiai di lingkungan pondok pesantren.
Tindakan tiga orang bersaudara sepupu itu kemudian diteruskan tiga orang kemenakan mereka, yakni KH A Wahid Hasyim, KH A Kabar Muzakir (di belakang bari menjadi ketua PP Muhammadiyah), dan H Ahmad Djojosugito (pendiri Gerakan Ahmadiyah).
Ketiga orang ini meneruskan upaya orangtua mereka itu dengan melanjutkan diskusi bulanan tentang agama Islam dan semangat kebangsaan. Pada 1926 Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya, juga merupakan upaya saling mendekatkan tokoh-tokoh pondok pesantren itu.
Tak mengherankan jika NU Ialu benar-benar mengenal nasionalisme dalam segala aspeknya melalui diskusi-diskusi yang tidak pemah berhenti. Ini dilakukannya seperti ajaran Islam yang dikenal melalui pondok pesantren. Inilah 'yang membedakannya dari lembagalembaga pendidikan Islam lainnya.
Ketika Soekarno belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (sekarang dikenal dengan nama ITBlInstitut Teknologi Bandung), ia kemudian menetap di sana dan menikahi Inggit Ganarsih yang ditinggalkannya di Jawa Timur. Namun, kondisi itu tidak menghentikan diskusi bulanan mereka dan tetap mendialogkan hubungan antara Islam dengan nasionalisme.
Kelja ini menWljukkan basil ketika pada 1935 NU menyelenggarakan Muktarnar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dalam forum itu dibahas wajib &tau tidak ada negara Islam di negeri ini. Jawabnya, tidak wajib. Ia tidak sekadar berbicara semau rnereka, tetapi didasarkan pada nalar yang sehat dan sumber tertulis yang benar untuk ito, yaitu Bugyah al- Mustarsyidin.
Jalan pikiran forum itu ada1ah sebagai berikut;jika koionialis Belanda membiarkan kaum muslim di Indonesia melaksanakan ajaran Islam/syariahsecara utuh tanpa ada larangan, ditakutkan kolonialis lain tidak akan seperti itu sikapnya.
Yang terpenting bagi kita adalah kenyataan bahwa nasionalisme dalam hal ini menjadi bagian kehidupan kawn beragama Islam (kaurn santri) dengan segala dialognya dengan kaum nasionalis. Dengan keputusan muktamar tersebut, jalan dipermudah untuk menerima perumusan Pancasila oleh Bung Kamo pada 1 Jum 1945, disusul Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 seperti juga halnya penerimaan rumusan adil dan makmur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Hal itu disusul dengan berbagai upaya berlainan Wltuk rnerumuskan semangat kebangsaan kita sebagai bangsa dan negara hingga saat ini dan di kemudian hari. Penulis artikel ini merasa bahwa mereka yang sektarian juga akan merumuskan apa yang mereka namakan semangat kebangsaan itu karena memang UUD 1945 memerintahkannya.
Hal seperti itu akan berlangsung dan ujungnya pada tumbuhnya semangat kebangsaan yang satu.,Sebab, awallahimya rumusan semangat kebangsaan kita sekarang inijugs dari yang kelompok keeil, yaitu dari "kesadaran" sebuah keluarga, akhirnya menjadi kesadaran sebuah bangsa dan negara.
Namun, hal itu tidak usah membuat kita heran karena memang demikian perkembangan sejarah selamanya. Ini juga dialami imperium Romawi dengan kisah Julius Caesar yang ditikam Brutus, semuanya wajar saja, bukan? (*)
KH Abdurrahman Wahid
Pengasuh Ponpes Almunawaroh, Ciganjur, Jakarta. (Sindo, 28/3/2008)

No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix