Pages

Wednesday 5 November 2008

Gorengan Citayam Rasa Wall Street

Pagi ini sekitar pukul 5 pagi di sebuah stasiun citayam, Bogor. Saya berjalan untuk mencari sebuah mangsa sebagai pengganjal perut sebelum harus berjibaku dalam medan perang kereta ekonomi. Nasi uduk. Ahhh kemarin sudah, Ganti ah. Nah ketemu dengan seorang penjual gorengan, "wah ada onde-onde dan molen pisang" gumamku dalam hati. Langsung saja aku comot dengan tangan pada sebuah wadah bambu yang hanya ditutupi plastik tipis.
"berapa bang?" tanyaku sambil mengeluarkan satu lembar ribuan
"ambil satu lagi, biar pas mas" pedagang
"oh ya bang" tanyaku dengan menyumpal mulutku dengan molen, benar benar lezat rasanya.



Mondar mandir, menunggu kereta datang, masih saja lampu merah menyala di pojokan, tanda penantian masih lama. Kembali saya ke pedagang untuk sedikit basa basi sebagai hiburan, apalagi dari logatnya yang jawani pasti enak deh buat ngobrol.
"Pak, biasanya kereta datang jam berapa ya" tanyaku sembari melongok ke arah kereta lewat
"Wah, saya orang baru disini, saya nggak tahu pasti pak" jawab pedagang yang pakai alas kepala dan sarung laiknya orang suku tengger
"lho, baru berapa bulan?" tambahku
"wah baru, baru setelah lebaran kemarin mas" tangkasnya
"Aslinya dari mana pak" dengan nada pendek dan sok akrab aku bertanya
"dari kebumen, mas dari mana" kata pedagang
"saya asli dari mojokerto, jawa timur. Lho emang dulu kerjanya dimana pak, kok katanya masih baru?" tambahku
"oh saya dulu bekerja sebagai ngrongsok (mengumpulkan rosokan bekas). Tapi sekarang hancur mas. Dari dulu kardus atau plastik aqua yang sekilo 12 ribu sekarang hancur menjadi 2 ribu. Nah sekarang saya mending beralih ke pedagang ginian" jawabnya seraya bercerita.
"Oh iya pak"
Itu kalimat terakhirku, karena percakapan itu diakhiri dengan datangnya kereta ekonomi yang membawaku ke Jakarta.


Di dalam kereta, saya berpikir bagaimana mungkin harga plastik rongsokan dari 12 ribu per kg menjadi 2 ribu per Kg yang harus mengorbankan para kuli rongsokan. Saya tidak percaya begitu cepatnya efek dari keruntuhan Wall Street masuk dalam sektor riil yang paling bawah. Saya nggak percaya bagaimana fundamental ekonomi yang katanya baik-baik saja oleh peemrintah, ternyata sudah memakan korban profesi bawah. Bukankah kita belum kena krisis seperti kata pak Jusuf kalla sebelumnya. Bukankah yang krisis itu pemegang saham yang notabene orang-orang kaya. Tetapi tidak mustahil bukan, para eksportir dari luar khususnya USA dan cina bergerak cepat mengalihkan sampah-sampah mereka (pastinya yang memiliki nilai jual) ke negeri kita yang merupakan pansga pasar yang cukup menggiurkan. Masak saya tidak paham betul sih tentang nilai pasar yang harus dijelaskan oleh permintaan dan penawaran. Sungguh hatiku lebih berbicara daripada logika. Sungguh saya...ahhhh terlalu jauh mungkin...akan lebih terpesok lagi dalam sebuah krisis yang sumber magnititudenya jauuuuuuuuh disana, di USA.


Rasa onde-onde dan molen, begitu enak sampai masih terasa, mungkin Pedagang gorengan di citayam dapat menamai dagangannya dengan "gorengan Wall street" sebagai pengingat kisah hidupnya pada periode saat ini.


No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix