Pages

Monday 3 March 2008

Sarjana Ekonomi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Sarjana dalam muasal kata berarti orang yang pandai. Jadi sebenarnya seorang sarjana harus menjadi gambaran yang lengkap tentang orang yang berwawasan luas dan intelektual. Nah intelektual makanan apa lagi tuh?

Pernah saya dengar celetukan dari seorang jamaah tablighyang berjubah yang diarahkan kepadaku waktu berada di masjid, dia berkata begini ”Banyak sarjana ekonomi di negara ini, kok negeri ini masih krisis saja”. Saya pun jelas terkena sentilan yang memerahkan telingaku. Pertanyaan ini jelas gampang-gampang susah untuk dijawab. Akhirnya saya pun menjawab sekenanya saja ”Orang sejak lahir itu sudah mengenal ilmu ekonomi, sedang sarjana ekonomi itu hanya belajar tentang teorinya saja, jadi semua orang itu makhluk ekonomi. Jika kita masih krisis ya karena kita semua memang pada dasarnya tidak produktif”. Dia pun terlihat kurang puas dengan jawaban tersebut, tetapi memilih diam daripada melakukan perdebatan lagi. Dan saya pun mencoba untuk ngobrol lebih manis lagi.

Sebenarnya dalam hati saya ketika mendapat pertanyaan itu, saya mau menjawab ”Nah pertanyaan itu yang belum juga bisa saya jawab”, berhubung saya sarjana ekonomi kan harus membela korpsnya, bukan begitu?. Masak sudah ada ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), saya tidak kompak, wah malu-maluin saja. Aku pun mencoba berpikir dengan statistika pertumbuhan ekonomi kita yang terus meninggi tetapi kemiskinan dan pengangguran pun ikut meninggi, lalu aku mencoba menjadi pengamat ekonomi dalam diriku sendiri dengan berbicara trickle down effect untuk diriku sendiri. Belum saya dapat jawabnya. Aku baca De Soto semakin kabur bayanganku. Dan ternyata aku lebih setuju pada Stligitz. Menurut dia bahwa Globalisasi memang menimbulkan penyakit yang akan mengorbankan sektor riil, dan negara harus melakukan proteksi. Nah disinilah yang membuat negaraku (yang pada SD dulu diajari ) adalah negara agraris menjadi negara para fakir miskin.

Pada tahun 2007 akhir, saya pulang kampung. Saya pun mendengar cerita senang-haru. Bingung kan?senang karena banyak warga yang bahagia mendapatkan uang, hasil dari gusuran sawahnya yang akan dibuat pabrik minuman teh botol Sosro. Nah harunya, ketika saya tanya ”kalau tidak ke sawah kerja nopo Pak?”, Beliau menjawab ”Ya kerjo sak onone nak. Dadi kuli bangunan inggih mboten nopo-nopo, kan damel tumbas lauk mawon. Beras pun diwenehi pemerintah dugi sembako niku (Ya kerja apa adanya nak. Jadi kuli bangunan ya tidak apa-apa, kan Cuma buat beli lauk saja. Beras sudah dikasih sama pemerintah dari sembako).

Jelas sudah aku pun menjadi heran. Waduh begini ternyata yang membuat negaraku remuk redam menghadapi krisis ekonomi plus pangan bertubi-tubi. Pembelian sawah untuk kebutuhan pabrik yang mengandalkan mesin-mesin, membuat lahan pertanian berkurang dan menimbulkan pengangguran baru bahkan menjadikan anak cucunya kehilangan salah satu mata pencaharian warisan sebagai tani. Tani adalah suatu mata pencaharian yang paling mulia dan paling dimarginalkan oleh negara kita sampai detik ini.
Belum selesai cerita itu, saya pun mendengar cerita kakakku di PHK oleh pabrik kertas terkenal di Indonesia karena pabrik sedang inefesiensi. Nah sebagai sarjana ekonomi aku jelas mendapatkan ujian berat daripada yudisium untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga dulu. Akhirnya kakak saya mempunyai ide untuk membuka toko kecil-kecilan di desa terpencil. Dan jelas kita pun mengumpulkan dana kecil untuk memulainya. Alhamdulillah, usaha kakak saya mulai lancar.

Sesampai di Jakarta, saya masih berpikir tentang sawah-sawah yang hijau pada waktu kecil dulu akan berubah menjadi sebuah pabrik dengan kebisingannya. Ditambah lagi nasib Cak Durokim, Cak Dulmanan dan lain-lain akan menjadi kuli bangunan dan mengemis beras sembako. Mereka tidak tahu bahwa suatu saat Pemerintah bisa saja menghentikan pemberian sembako karena lebih mementingkan masalah ekonomi yang lain. Sampai berapa lama mereka bertahan dengan uang gusuran puluhan juta yang zaman sekarang hanya dapat untuk beli 2 (dua) motor saja. Bayangan suram semakin mendekat ketika melihat Metro TV menayangkan kenaikan harga-harga.

”Banyak sarjana ekonomi di negara ini, kok negeri ini masih krisis saja” kata itu kembali terngiang di telingaku.

No comments:

Chatt Bareng Yuk


Free chat widget @ ShoutMix